Posted by : a
April 19, 2012
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Di kota kami, walau
terletak persis di tengah-tengah gurun pasir maha luas, hujan bukanlah
barang langka. Jika penduduk kota ingin merasakan hujan, maka tinggal
bilang ke balai kota. Seperti kemarin, anak tetangga sebelah rumah,
rindu berat berlari-lari di atas gelimang lumpur, di bawah atap langit
yang mencurahkan beribu-ribu bulir air kesegaran. Maka orang tuanya
segera memesan hujan. Selang dua belas menit kemudian, awan hitam datang
berarak, guntur dan petir sambar menyambar, tak lama turunlah hujan
sesuai pesanan.
Jangan salah sangka dulu, kota kami memang
terpencil jauh dari seluruh penjuru dunia, tetapi bukan berarti penduduk
kota kami lebih primitif dibandingkan kalian. Kami tidak memanggil
hujan lewat dukundukun, nyanyian-nyanyian, apalagi sesembahan tak
berguna itu, sebaliknya kami memanggil hujan dengan teknologi tingkat
tinggi. Maju sekali, malah jauh lebih maju dibandingkan dengan
menerbangkan pesawat untuk menaburkan butiran pembuat hujan di awan-awan
yang biasa ilmuwan kalian lakukan.
Di sini banyak penemu. Yang
terhebat di seluruh dunia, malah. Jadi jangankan soal hujan, soal rumit
lainnya, seperti mobil terbang, rumah mengapung, lampu tenaga udara, pil
anti lapar, suntikan seribu penyakit dan yang lebih sulit lainnya ada
di sini. Dengan berbagai penemuan hebat itu, kehidupan berjalan amat
baik dan berkecukupan.
Tetapi suatu hari, dewan kota mendadak
mengadakan pertemuan. Tentu ada hal super penting yang telah terjadi,
karena rapat ini adalah rapat mendadak untuk pertama kalinya dalam lima
ratus tahun terakhir. Para tetua risau sekali tentang sesuatu. Tentang
mengapa angka pertumbuhan penduduk kota ini stagnan, bahkan dua tahun
belakangan justeru minus sekian persen. Jika trend pertumbuhan penduduk
tetap seperti itu, dikhawatirkan seratus hingga dua ratus tahun
mendatang, penduduk kota ini akan musnah.
Lama berdebat akhirnya
ditemukanlah muasal permasalahannya. Yaitu karena angka pernikahan
anak-anak muda turun amat tajam. Kenapa angka pernikahan turun amat
tajam? Karena anak-anak muda ternyata susah sekali menemukan jodohnya
masing-masing. Kenapa anakanak muda amat susah menemukan jodoh? Karena
angka penolakan cinta meningkat tajam. Dan kenapa angka penolakan cinta
meningkat tajam? Karena anakanak muda itu terlalu malu untuk
mengungkapkan perasaannya. Takut ditolak, takut ditertawakan, takut
dihinakan, lebih sial lagi akan dikenang sepanjang masa: sebagai
pecundang.
Tetua kota ramai lagi berdebat mencari solusi masalah
pelik ini. Bagaimana agar anak-anak muda itu tidak cemas dan takut lagi
menyatakan cintanya? Akhirnya setelah berbagai usulan diterima, mulai
dari yang sama sekali tidak masuk akal hingga yang malah tidak ada
kaitannya sama sekali dengan akar permasalahan, solusi yang dimaksud
disepakati.
Dewan kota akan menciptakan alat pendeteksi cinta.
Sebut sajalah namanya cintanometer. Bentuk fisiknya kurang lebih mirip
freehand telepon genggam yang kalian kenal selama ini. Dicantolkan di
telinga, dan ia dengan kecanggihannya akan memberitahukan perasaan yang
sedang dipikirkan oleh lawan jenis di hadapanmu.
Bagaimana
caranya? Tidak jelas juga seperti apa. Terlalu rumit untuk dituliskan.
Tetapi kurang lebih cintanometer akan mendeteksi gesture tubuh, kadar
pheromon, getaran arus listrik yang timbul dari detak jantung pasangan
Anda, medan elektromagnetik yang muncul dari sekujur kulitnya, sinyal
alpha dari bola matanya, frekuensi dan lamda getaran suara saat pasangan
Anda berbicara dan berbagai pemicu kimiawi lainnya yang terus terang
aku juga tidak terlalu mengerti.
Dengan cintanometer itu,
anak-anak muda tak usah malu lagi menyatakan cinta. Alat ini seratus
persen akan menjamin kalkulasi variabel yang ditangkapnya benarbenar
nyata. Deviasi kesalahannya kecil sekali, sehingga kalian tak usah lagi
khawatir ditolak mentahmentah.
Mendengar kabar tentang
cintanometer, penduduk kota kami dilingkupi kegairahan yang luar biasa.
Mereka belomba-lomba mencari tahu sejauh mana kemajuan ilmuwan terbaik
mereka menciptakan alat pendeteksi cinta tersebut. Tak sabar lagi mereka
menunggu hari H peredarannya di toko-toko kelontong. Malah di
tengah-tengah kota dipasang penghitung waktu mundur (countdown)
menunjukkan sisa hari peluncurannya.
********
Dan ketika tiba
hari H peluncuran cintanometer itu, kota kami heboh sekali. Inilah
penemuan terbesar sepanjang masa. Muda-mudi berdiri mengantri membentuk
kelokan puluhan kilometer di depan balai kota untuk mendapatkan alat
pendeteksi cinta. Lelaki tua dan wanita tua yang tak laku-laku juga
terselip hampir di setiap dua-tiga pengantri. Orang-orang tua yang sudah
menikah pun ternyata ikut mengantri. Juga anak-anak di bawah umur.
Rusuh
sekali antrian itu. Saling menyelak. Jangan pernah kalian meleng
sedikit saja, alamat tempat berdiri sudah diisi oleh tiga-empat orang
yang tak dikenal. Semakin lama kerusuhan dalam antrian semakin meluas.
Masalahnya ternyata pembagian alat tersebut agak sedikit terganggu
karena baru saja tetua kota menyadari mereka sama sekali belum melakukan
analisis dampak lingkungan atas cintanometer ini. Tak ada yang pernah
berpikir hal ihwal yang akan terjadi akibat beredar bebasnya alat ini,
apalagi lihatlah batasan umur para pengantri di depan sana.
Semakin
siang antrian semakin kusut. Maka tetua kota tak ada pilihan lain
kecuali mulai membagikan cintanometer itu. Lupakan dulu soal analisis
dampak lingkungan tersebut. Yang penting antrian penduduk kota tidak
berubah menjadi anarki.
Mereka berebut menyambar kotak-kotak kecil
itu. Untunglah tak ada satu pun warga kota yang mengantri menginginkan
benda tersebut yang tidak kebagian. Lepas senja semuanya bisa pulang
dengan senyuman lega. Berharap banyak atas benda kecil tersebut.
Tetapi, wahai, tahukah kalian apa yang terjadi sekejap setelah itu?
******
Kota
kami tiba-tiba berubah menjadi lautan cinta. Lihatlah anak-anak muda,
mereka seolah-olah sedang berlomba-lomba menyatakan cintanya. Di
sepanjang jalan-jalan, di taman-taman kota, di kafekafe, di pelataran
parkir dan pertokoan, di ruangruang kelas, di atas mobil-mobil dan
gerbong kereta, di dalam lift dan toilet, hingga di altar-altar suci
rumah ibadah yang seharusnya hanya dipakai untuk berdoa.
“Clarice, aku cinta padamu?” seru seorang pemuda dari salah satu meja, di kafe tengah kota.
“Aku
sudah tahu, Leonardo!” gadis itu juga berteriak sambil memperlihatkan
alat itu di telinganya. Mereka berdua tertawa. Juga tertawa bersamaan
dengan seluruh isi kafe lainnya. Anakanak muda yang dimabuk asmara.
Bersemu merah saling menggenggam tangan.
“Patrice, andai kau meminta bulan, tentu tak sungkan aku berikan....”
“Sudahlah, Desovov….” dan gadis di meja satunya lagi itu melompat menyeberangi piring-piring.
Sungguh.
Padahal kemarin, kemarinnya lagi, minggu-minggu lalu, dan sepanjang
hari selama setahun terakhir ini gadis itu hanya mampu berdiri menatap
pemuda pujaannya lewat begitu saja di gang bawah sana dari balik teralis
jendela. Terlalu gentar untuk mengakui. Terlalu takut untuk menyatakan
cintanya.
Kemanapun kau pergi malam itu, maka yang akan kau dapati
hanyalah anak-anak muda dengan trendi mengenakan cintanometer di
telinganya, berjalan kesana-kemari coba menemukan pasangannya. Saat alat
di telinga mereka berkedip-kedip, mereka berseru kegirangan. Itu
berarti ada seseorang yang mencintainya radius seratus meter darinya.
Apa
yang terjadi kemudian? Tergantung. Jika pasangan yang ditunjukkan oleh
cintanometer itu ternyata tampan dan memang pujaan jantungnya selama
ini, maka tak sungkan ia menggamit tangannya, menatap tersenyum dengan
muka bersemu merah. Tetapi jika ternyata pasangan yang ditunjukkan oleh
cintanometer itu ternyata jelek dan malah sosok yang dibencinya selama
ini, maka dengan terbirit-birit ia akan lari menjauh.
Amat
beruntung seorang pemuda atau gadis yang berkali-kali cintanometernya
berkedip-kedip. Itu berarti ada banyak pilihan baginya untuk menyatakan
cinta. Dan di tengah-tengah keramaian cinta ini, ironisnya, ada saja
pecinta yang tidak sedikit pun cintanometernya berkedip-kedip.
Awalnya
mereka tidak terlalu panik. Mungkin alat miliknya rusak atau baterainya
habis. Mereka buru-buru mencoba meminjam alat pendeteksi cinta milik
temannya, berharap nasib akan berubah. Percuma. Semua alat yang
dikeluarkan oleh balai kota selalu dalam kondisi seratus dua belas
persen oke.
Maka tinggallah mereka merana menjadi penonton
pertunjukan cinta di kota kami. Tetapi siapa peduli dengan orang-orang
yang tidak beruntung itu? Jumlah mereka sedikit. Dan bukankah dengan
demikian, alat pendeteksi cinta itu membantu seleksi genetik kota kami.
Pemuda atau gadis yang tak pernah dicintai oleh seseorang maka sudah
sepatutnyalah tidak meneruskan keturunan genetiknya, demikian kesimpulan
tetua kota.
Mendengar laporan meningkatnya angka jatuh cinta
anak-anak muda di kota kami, tetua kota tersenyum lega. Permasalahan
besar itu nampaknya teratasi sudah. Mereka bersulang di balai kota,
berseru bersama memuji kepintaran para penemu. Tanpa sedikit pun
menyadari laporan itu ternyata belum lengkap benar. Karena pelahan-lahan
muncullah berbagai masalah akibat cintanometer itu.
******
Vyrzas,
lelaki baya berumur enam puluh tahun, duduk menangis di pojokan kota
sambil mengelus kepala botaknya penuh penyesalan. Dengan alat itu,
barusan ia tahu bahwa sesungguhnya semenjak empat puluh tahun silam
hingga hari ini, Veronica, kembang kampus universitas kota kami,
ternyata amat mencintainya. Ah, mengapa alat ini baru diciptakan
sekarang? Sesalnya. Lihatlah, wanita tua itu sudah beranakpinak dengan
pria lain. Ia dulu ternyata terlalu naif menganggap dirinya jelek, bodoh
dan sama sekali tidak berguna bila dibandingkan dengan gadis itu yang
amat cantik, pintar dan populer.
Tetapi kesedihan Vyrzas bukan
masalah serius bagi tetua kota saat ini. Yang sudah berlalu biarlah
berlalu. Toh itu murni kesalahan Vyrzas. Yang lebih penting dan
mendesak, lihatlah berbagai pertengkaran yang segera menyeruak di
rumah-rumah penduduk.
“Aku tak menyangka hatimu busuk selama ini!” Nenek itu berseru kencang dari salah satu rumah.
“Apa maksudmu?”
“Lihat ini!” Ia berseru sambil memperlihatkan telinganya. Kakek itu tersumpal mulutnya.
“Pokoknya
aku tidak mau lagi melihat mukamu di rumah ini. Pergi! Pergi bajingan!”
Nenek itu menangis dalam marah. Ia tidak menyangka pemuda yang
dinikahinya enam puluh tahun silam ternyata sedikit pun tidak
mencintainya. Jangankan berkedip, mendesing pun tidak cintanometer di
telinganya. Ternyata suaminya menikahinya semata-mata karena kedudukan
dan harta orang tuanya.
Segeralah berbagai borok suami terbongkar.
Berbagai aib istri terbuka lebar-lebar. Banyak sekali pemuda yang
menikahi istrinya hanya karena harta, kekuasaan, atau kecantikan wajah.
Dan sebaliknya gadis-gadis yang menikah hanya karena tebalnya kantong
suaminya, rumah-rumah, mobil-mobil terbang dan berbagai kemewahan dunia
lainnya. Mereka bertengkar hebat malam itu.
Cintanometer
benar-benar menelanjangi para pelaku selingkuh. Suami-suami yang tidak
cinta lagi melihat tubuh istrinya. Suami-suami yang lebih suka
menghabiskan malam-malan di bar-bar kota. Alat itu juga membantu
anak-anak yang tak beruntung menerjemahkan perasaan sesungguhnya dari
ayah atau ibu tiri mereka. Dengan segera di tengah-tengah lautan cinta
yang terjadi di jalanan, harmoni rumahrumah tangga penduduk kota kami
satu demi satu rontok.
Tetua kota segera berembug membahasnya.
Satu dua tetua kota berkata pelan di tengah keramaian: ia memang dari
dulu sudah khawatir sekali dengan alat pendeteksi cinta ini, sudah
terlalu banyak penemuan tidak pantas yang telah mereka buat selama ini.
Penemuan yang menebas tata aturan kehidupan. Cinta adalah urusan langit
dan tidak sepantasnya mereka mencoba mengakalinya.
Tetapi
mayoritas tetua kota kami mengabaikan keluhan itu. Jika ada masalah yang
muncul dari cintanometer itu maka anggap saja harga yang harus dibayar
untuk mengatasi permasalahan pertambahan penduduk kota. Dan bukankah
lebih banyak anakanak muda yang akan segera melangsungkan pernikahannya
dibandingkan dengan rumah tangga yang hancur berantakan?
Malam itu juga putus. Cintanometer akan terus diedarkan.
******
Hari-hari
berlalu menjadi setahun, setahun berjalan dirangkai hari-hari. Siang
ini genap lima tahun semenjak penemuan itu pertama kali diluncurkan
dulu. Lihatlah apa yang terjadi di kota kami. Bayibayi mungil kelihatan
di mana-mana. Jumlah penduduk double. Krisis kepedendudukan itu lewat
sudah.
Cintanometer selama lima tahun berturut-turut mendapat
penghargaan Penemuan Terbaik Tahun Ini. Setiap tahun fiturnya di tambah,
dibuat lebih gaya dengan model dan warna-warni mutakhir. Penggunaannya
pun semakin friendly user, tidak berkedip, tetapi berbisik. Bisikan
cinta yang bisa di setting sedemikian rupa, termasuk menggunakan suara
artis favorit kalian.
Malah cintanometer oleh sebagian besar
penduduk kota di usulkan agar ditetapkan sebagai penemuan terbaik
sepanjang abad ini. Melihat situasi yang sedang berkembang dalam
masyarakat, sepertinya wacana itu akan benar-benar menjadi kenyataan.
Masalahnya di tengah-tengah kegembiraan tetua kota, dan leganya perasaan
anak-anak muda, ada sesuatu yang tanpa disadari pelahan-lahan merubah
kehidupan kota itu.
Alat itu bagi sebagian orang ternyata dari
hari ke hari secara pasti membuat kehidupan mereka menjadi sangat
sistematis, terukur dan tidak menarik lagi. Tidak ada lagi seorang
pemuda atau seorang gadis yang berdiri cemas menunggu di halte, berharap
idaman jantungnya datang dan mereka bisa pergi satu bus, syukur-syukur
bisa duduk bersebelahan. Tidak ada lagi degup jantung penasaran saat
seorang pemuda menyatakan cintanya, menyajak puisi-puisi, menggenggam
tangan sang kekasih. Tidak ada lagi lipatan suratsurat yang secara
sembunyi-sembunyi dititipkan atau diselipkan di lemari sekolah, sekuntum
bunga mawar yang dikaitkan di pintu rumah, atau seorang pemuda yang
memetik gitar bernyanyi keras-keras di halaman rumah gadis idamannya.
Semakin
lama, malah tidak ada lagi cokelat berbentuk jantung sebagai hadiah
penanda cinta, tidak ada lagi balon-balon merah itu, tidak ada lagi
cupid si peri cinta. Tidak ada lagi syair-syair kerinduan, soneta pujaan
hati, tidak ada lagi irama ratapan kesendirian. Penduduk kota ini tidak
memerlukan itu semua. Cinta pelahan-lahan namun pasti telah berubah
menjadi barang instan.
Jika cintanometer berkedip-kedip itu
artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama
penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan
seseorang saat jatuh cinta? Mereka hanya mengerti soal kedip dan tidak
mengedip. Bisik atau tidak berbisik. Lama-lama mereka malah kehilangan
kosa kata cinta? Siapa lagi yang perlu kata cinta jika kau bisa
menterjemahkannya dengan mudah melalui sebuah alat mungil yang canggih?
Berbisik berarti oke, tidak berbisik cari yang lain. Sesederhana itu.
Maka
kata cinta dihapuskan dari kamus besar bahasa kota kami, karena tak ada
lagi yang mengerti apa maksudnya. Berikut kata-kata yang menyerupai dan
menyertainya. Kalian tak akan lagi menemukan kata: kasih, sayang,
rindu, bertepuk sebelah tangan, pungguk merindukan bulan, bujang tua,
jomblo dan kata-kata lainnya.
Dan ketika aku sempat berkunjung ke
kota itu minggu lalu. Dalam ramainya ruang pesta di balai kota, aku
tersenyum bersalaman dengan penduduk kota.
Berkata mengenalkan diri,
“Namaku Jun. Aku pengelana hati. Datang dari jauh mencari cinta. Adakah
gadis rupawan di kota ini yang masih sendiri dan mau menghabiskan sisa
hidup bersamaku?” mereka menatapku aneh sekali.
Seperti kalian sedang menatap mahkluk dari galaksi lain.
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ